Sebab Kelemahan Kaum Muslimin (Pelajaran dari Tragedi Palestina)

Oleh : Abu Abdillah Sofyan


Sejatinya kaum Muslimin adalah ummat yang kuat dan mulia serta berwibawa dan disegani oleh orang-orang kafir. Sebagaimana hal ini dengan jelas ditunjukkan dalam sejarah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabatnya radhiyallahu’anhum serta beberapa generasi ummat Islam setelahnya yang tetap konsisten dalam berpegang teguh dengan Sunnah Beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Bahkan sebulan sebelum Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan pasukannya sampai di tempat musuh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan dalam hati musuh rasa takut dan gentar terhadap kaum Muslimin. Dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: 

نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ
“…Aku ditolong (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan kegentaran pada musuh dari jarak sebulan perjalanan..” (Muttafaqun’alaihi). 




Namun apa yang kita saksikan hari ini, sungguh jauh kenyataan kaum Muslimin dari kejayaan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabatnya radhiyallahu’anhum, sehingga sangat layak untuk kita bertanya-tanya, masihkah kita berjalan di atas jalan Beliau shallallahu’alaihi wa sallam dalam beragama, yang dengan sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan dan menolong kaum Muslimin!?
Tragedi Palestina saat ini dengan korban lebih dari 1000 kaum Muslimin yang meninggal dan lebih dari 5000 orang terluka akibat pembantaian kaum Yahudi, pada saat yang sama milyaran kaum Muslimin yang tersebar dari tanah Arab sampai ke seluruh dunia, tidak ada yang mampu untuk menyelamatkan saudara-saudaranya di bumi Palestina dengan segera, dan ini hanyalah salah satu gambaran dari akibat kelemahan kaum Muslimin. Dimanakah kini Umar bin Khattab yang dulu membebaskan Palestina dari tangan pasukan kuffar!? Dimanakah Khalid bin Walid dan Sa’ad Bin Abi Waqqash!? Dimanakah para pahlawan yang dibina oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang konsisten dengan sunnah Beliau!? Adakah diantara kita yang masih mengikuti jalan mereka!?
Padahal, kalau kita mau melihat kembali kepada Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sesungguhnya Beliau shallallahu’alaihi wa sallam telah menjelaskan hakekat kelemahan dan terhinanya kaum Muslimin serta solusi untuk kembali kuat dan mulia.
Dalam hadits Tsauban radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: 


)يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا(. فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ )بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ( فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ )حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ(
“Hampir-hampir ummat-ummat (yang kafir) menguasai kalian seperti berkerumunnya orang-orang memperebutkan makanan”, maka berkatalah seseorang, “apakah karena sedikitnya kita (kaum Muslimin) ketika itu?”, Beliau bersabda. “bahkan kalian pada waktu itu banyak jumlahnya, akan tetapi kalian seperti buih banjir, dan Allah menghilangkan kewibawaan kalian dari hati-hati musuh kalian serta melemparkan ke dalam hati-hati kalian kelemahan”, maka berkata seseorang, “wahai Rasulullah apakah penyebab kelemahan tersebut?”, Beliau bersabda, “cinta dunia dan benci pada kematian”. (HR. Abu Daud 4/4299, ‘Aunul Ma’bud 11/273, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah no.958).

Dari hadits ini kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya di antara sebab kehinaan kaum Muslimin adalah kecintaan kepada dunia. Sehingga dengan sebab itu, lalailah mereka dari mengingat Allah Ta’ala, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, bahkan terkalahkan kecintaan mereka kepada Allah Ta’ala oleh kecintaan kepada dunia. 
Berkata al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah, “tidak akan masuk di dalam hati seseorang kecintaan kepada Allah Ta’ala jika ada dalam hatinya kecintaan kepada dunia, kecuali seperti masuknya onta ke lubang jarum”. (Al Fawaa-id, hal. 98). Juga dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: 

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara ‘inah, dan kalian memegang ekor-ekor sapi, serta ridho dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, maka Allah Ta’ala akan menimpakan kehinaan atas kalian, Dia tidak akan mengangkat kehinaan tersebut dari kalian, sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR. Abu Daud 3/3464, dishohihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah no.11).

Berkata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, “dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang solusi dan obat atas musibah yang menimpa kaum Muslimin berupa kehinaan yang telah menguasai seluruh kaum Muslimin, (tidak ada yang selamat dari kehinaan ini) kecuali sedikit dari mereka yang senantiasa berpegang teguh dengan agama. Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits ini penyakit yang menimpa kaum Muslimin yang dengan sebab itu Allah Ta’ala menghinakan mereka, kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka obat dan jalan selamat dari kehinaan tersebut”. 

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits ini tiga sebab kehinaan kaum Muslimin. 

Pertama, melakukan jual beli dengan cara ‘inah. Ini adalah salah satu bentuk jual beli yang terlarang dalam Islam karena mengandung riba’ di dalamnya. Padahal betapa banyak praktek-praktek riba’ yang kini merebak di tengah-tengah kaum Muslimin. Diantara yang paling banyak tersebar adalah riba’ qordh, yaitu riba’ dalam hutang piutang yang distilahkan dengan “bunga”, yaitu seorang meminjam dengan syarat dikembalikan melebihi dari jumlah pinjamannya, atau seorang pemberi pinjaman mengambil manfaat dari piutang yang dia berikan kepada peminjam.
Dan yang penting untuk dipahami –sebagaimana yang dijelaskan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah- bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan jual beli dengan cara ‘inah ini hanyalah sebagai contoh, bukan pembatasan. Yaitu satu contoh dari sekian banyak pelanggaran syari’ah dan perkara-perkara haram yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Padahal masih banyak penyimpangan-penyimpangan dalam agama yang dilakukan oleh kaum Muslimin hari ini yang lebih besar dosanya dari riba’, seperti mendatangi kuburan-kuburan untuk berdo’a kepada para penghuni kubur tersebut, mempercayai perdukunan dan peramalan, dan lain-lain yang termasuk kekufuran dan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Maka bagaimana mungkin kaum Muslimin akan ditolong oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala. 


Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam al-Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid menjelaskan diantara hikmah yang bisa dipetik dari kisah dipukulnya pasukan kaum Muslimin pada perang Uhud dengan satu pukulan yang keras oleh kaum Musyrikin adalah karena ketidaktaatan pasukan pemanah terhadap satu saja perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yaitu untuk tetap berada di atas bukit. Namun mereka turun dari bukit tersebut karena mengira kaum Muslimin telah menang dan mereka lupa dengan perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Maka bagaimana mungkin pada hari ini kaum Muslimin akan menang melawan orang-orang kafir dalam keadaan mereka tidak mentaati banyak sekali perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam!?


Oleh karenanya, solusi dalam hadits ini, yang sungguh sangat mencocoki keadan kaum Muslimin hari ini yang banyak menyelisihi perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam, adalah kembali kepada agama Allah Ta’ala, bukan kembali (secara langsung) ke medan jihad, tetapi persiapan keimanan dan juga persiapan fisik. 


Terkhusus untuk masalah Palestina, para Ulama Ahlus Sunnah seperti Asy-Syaikh Bin Baz dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahumallah telah menasehatkan kaum Muslimin Palestina sejak lama agar mereka berdamai dangan Yahudi atau mereka hijrah ke tempat yang lebih aman. Agar dengan adanya perjanjian damai tersebut atau dengan hijrahnya mereka ke tempat aman, maka mereka lebih punya kesempatan untuk menyiapkan kekuatan keimanan dan kekuatan fisik untuk berjihad melawan Yahudi dan juga demi menjaga keselamatan jiwa-jiwa kaum Muslimin yang belum siap melawan kekuatan Yahudi yang didukung oleh kekuatan kafir Internasional dan telah terbukti sebelumnya tidak mampu dikalahkan oleh koalisi Arab sekalipun. 


Sebagaimana strategi ini digunakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tatkala Beliau shallallahu’alaihi wa sallam berdamai dengan kaum Musyrikin, orang-orang yang lebih buruk aqidahnya dari Yahudi, yaitu pada perjanjian Hudaibiyah, dan Beliau shallallahu’alaihi wa sallam telah hijrah ke Madinah, meninggalkan kota Makkah, bumi yang lebih mulia dari bumi Palestina, semua itu demi mempersiapkan kekuatan kaum Muslimin dengan kekuatan iman dan kekuatan fisik.
Namun sangat disayangkan, nasehat para Ulama Ahlus Sunnah, oleh Hizbiyyun (fanatikus golongan) malah dituduh sebagai sikap lemah dan tunduk pada Yahudi, bahkan lisan-lisan jahat mereka sampai menuduh para Ulama Ahlus Sunnah sebagai antek-antek Zionis, yang tidak mengerti waqi’, yang ilmunya hanya sebatas pembahasan haid dan nifas kata mereka. Maka terjadilah apa yang terjadi pada hari-hari ini. Membuktikan kepada kita, para Ulama Ahlus Sunnah, dengan ilmu yang mereka miliki lebih mengerti tentang fiqhul waqi’ dari pada kalian wahai Hizbiyyun Harokiyyun! 


Kedua, 

kesibukan mengumpulkan harta dunia yang melalaikan dari kewajiban beribadah kepada Allah Ta’ala. Hal ini diungkapkan dengan kinayah oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “jika kalian telah memegang ekor-ekor sapi, dan ridho dengan pertanian”. Inilah sesungguhnya salah satu sebab kehancuran kaum Muslimin, ketika mereka lalai dari sebagian bahkan seluruh kewajiban mereka dalam beribadah kepada Allah Ta’ala disebabkan karena kesibukan mengejar dunia yang sedikit ini dan berlomba-lomba dalam kemewahan, padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan perkara ini dalam sabda Beliau:

مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku takuti menimpa kalian, akan tetapi yang aku takutkan adalah dibentangkannya dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas ummat sebelum kalian, maka kalianpun berlomba-lomba mengejar dunia sebagaimana mereka melakukannya, sehingga dunia membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka”. (Muttafaqun ‘alaihi). 


Ketiga, 

meninggalkan jihad. Perkara ini juga hanyalah merupakan contoh dari berbagai kewajiban agama yang banyak ditinggalkan oleh kaum Muslimin. Sedangkan kewajiban agama yang paling tertinggi adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan beribadah hanya kepada-Nya, mengikhlaskan agama hanya bagi-Nya dan menjauhi segala macam bentuk kesyirikan dan kekufuran.

Maka ketika penyakit-penyakit ini telah mewabah dalam tubuh kaum Muslimin, Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpakan kehinaan kepada mereka sebagai akibat dari kezhaliman mereka sendiri. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Penyayang dan Maha Hikmah, melalui lisan Nabi-Nya yang mulia shallallahu’alaihi wa sallam, sesungguhnya telah menjelaskan solusi untuk kembali kepada kejayaan kaum Muslimin dan terangkatnya kehinaan ini dengan “kembali kepada agama-Nya”.

Sedangkan ajaran agama yang diinginkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah yang telah disimpangkan oleh kelompok-kelompok sesat, tetapi agama yang diturunkan-Nya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang kemudian dipahami dengan baik dan diamalkan oleh para sahabat rhadiyallahu’anhum. Yaitu ajaran yang bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan pemahaman para Sahabat rhadiyallahu’anhum. 
Hal ini ditegaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: 

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيل تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّة , وَتَفْتَرِق أُمَّتِي عَلَى ثَلَاث وَسَبْعِينَ مِلَّة , كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّا مِلَّة وَاحِدَة , قَالُوا : مَنْ هِيَ يَا رَسُول اللَّه ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي "
“Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi 72 golongan, dan ummatku akan berpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu”, para sahabat bertanya, “siapakah mereka wahai Rasulullah?”, Beliau bersabda, “yang mengikuti aku dan para sahabatku”. (HR. Tirmidzi no. 2641, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no.171 pada tahqiq kedua). 


Hadits ini juga menjelaskan sebab dan solusi atas perpecahan ummat Islam, bahwa perpecahan ummat dikarenakan ketika sebagian mereka mengikuti selain jalannya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para Sahabatnya radhiyallahu’anhum. Maka solusinya adalah kembali ke jalan tersebut. Sedangkan persatuan yang Allah Ta’ala inginkan adalah persatuan di atas kebenaran, tidak sekedar asal ngumpul. 


Oleh karenanya, wajib bagi kita untuk kembali kepada agama Allah Ta’ala, yaitu dengan kembali mempelajari dan mengamalkan ilmu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan pemahaman Sahabat radhiyallahu’anhum. 

Wallohul Musta’an.
(Syarah hadits kedua, yakni hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma disarikan dari makalah Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah yang berjudul, “Asbaabu Tasalluthidz Dzulli ‘alal Muslimin [filisthiina-mitsaalan]”, sebab-sebab tertimpanya kehinaan atas kaum Muslimin -Palestina sebagai misal-).


sumber: http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=298

Komentar