Tanya Jawab Seputar Penegakkan Khilafah

oleh: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary

pertanyaan:
bagai mana dgn orang yg berdalil bahwa kaum muslimin harus masuk islam secara kaffah,. sedangkan sekarang kaum muslimin belum menegakkan hukum Allah, jadi belum kaffah dong kaum muslimin sekarang???
mereka berdalil dgn. firman Allah surah An Nisa ayat 115, 65, 89 dan At Taubah ayat 7, 8, 12, 13 dan 16 juga surat At Tahrim ayat 8, dan 9.
bagaimana dgn bantahan yg hikmah atas pengakuan mereka ini..
apakah benar apakah tidak..
Jawaban:
Bantahannya, Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’aha. Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Menegakkan hukum Allah itu tidak hanya sebatas hudud (rajam, potong tangan, bunuh, qisas, dsm), tapi meliputi semua aturan Allah yg mampu dilakukan. Adapun yg tidak mampu dilakukan karena memerlukan wewenang dan kekuasaan spt hudud tsb, maka itu bukan kewajiban orang-perorang dari kaum muslimin (rakyat), namun itu kewajiban penguasa/waliyyul amri. kalau mereka tidak menegakkannya maka merekalah yg berdosa dan kita tidak dituntut (sbg rakyat biasa yg tidak punya wewenang) untuk menegakkannya. Demikian pula hukum-hukum lainnya spt Jihad.
Kalau masuk Islam kaaffah diartikan harus menegakkan semua hukum Allah tanpa mengindahkan kemampuan, maka islamnya para sahabat saat di mekkah tidak ada yang sah, sebab hukum Allah belum tegak selama 13 tahun mereka di mekkah… yg berkuasa adalah kaum musyrikin. Barulah setelah mereka hijrah bisa menegakkan hukum Allah secara kaaffah. Ini konsekuensi dari pemahaman mereka yg keliru… nah, apakah mereka berani mengatakan bhw keislaman para sahabat tadi belum kaaffah saat mereka di Mekkah?

pertanyaan:
ust. apa benar kita harus ta’at kapada ulil amri yg berhukum dgn hukum Allah saja??? kapan kita melepas keta’atan kpd ulil amri ust???
sedangkan Allah berfirman dalam An-Nisaa ayat.59
(yang artinya) Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
terus apa yg dimaksud dgn ayat di atas ust?? apakah keta’atan ulil amri disini ketika ulil amri berhukum dgn hukum Allah???
jawaban:
Kewajiban taat kepada ulil amri berlangsung terus selama dia menegakkan shalat (muslim). Imam Muslim meriwayatkan:
عن عوف بن مالك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال * خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما أقاموا فيكم الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة),
Dari Auf bin Malik, bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Pemimpin terbaik kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, lalu kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Sedangkan pemimpin terjelek kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, lalu kalian melaknatnya dan mereka pun melaknat kalian”. Rasulullah ditanya, “Ya Rasulullah, mengapa tidak kita lawan saja mereka dengan senjata?”. “Jangan, selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci pada pemimpin kalian, maka bencilah perbuatan mereka dan janganlah mencabut keta’atan kalian dari mereka”.
Maksud dari “Selama mereka menegakkan shalat di tengah-tengah kalian”, adalah bahwa di zaman dahulu (generasi salaf), seorang pemimpin (khalifah, imam, amirul mukminin) juga bertugas sebagai khatib dan imam shalat, selain sebagai kepala negara. Jadi, selama mereka masih mengimami shalat lima waktu bagi rakyatnya, maka mereka adalah pemimpin muslim yang tidak boleh diperangi. Adapun sekarang kondisinya telah berubah seiring dengan banyaknya wakil-wakil penguasa yang memegang jabatan tertentu, sehingga seorang penguasa tidak lagi menjadi imam dan khatib. Pun demikian, ini tidak berarti kekuasaan mereka menjadi tidak sah. mereka tetaplah penguasa yang sah dan syariat memberi hak bagi mereka untuk menunjuk wakil-wakil di setiap daerah dengan tugas tertentu, spt mengimami shalat, berkhutbah, menikahkan (wali hakim), menerapkan hukuman hadd, mengadili, menjalankan aturan negara (otonomi), dsb. Ini bila negara yg bersangkutan masih tergolong daar islam, yaitu negara yg menunjukkan tegaknya syi’ar-syi’ar Islam dan dikuasai oleh kaum muslimin, walaupun mayoritas rakyatnya non muslim. Sedangkan bila negara tsb adalah negara ‘gado-gado’ kaya’ indonesia, yg dari satu sisi mayoritas rakyatnya adalah muslim, akan tetapi syi’ar-syi’ar Islam dan kekufuran sama-sama tegak, dan pemerintahnya juga campuran antara muslim dan kafir, maka kita menyikapinya dengan sikap yg adil. Yg mukmin kita perlakukan sebagai mukmin/muslim, dan yg kafir kita perlakukan sebagai kafir. Kalau presiden menyuruh untuk maksiat maka tidak boleh kita taati dalam perintah tsb, sedangkan perintah lainnya yg tidak mengandung maksiat tetap kita taati.
adapun bila ia (penguasa) bukanlah seorang muslim, atau telah dinyatakan murtad oleh para ulama yg mu’tabar, maka dia bukan lagi menjadi ulil amri kita 
(ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا) 
“Allah tidak akan memberi peluang bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukminin” (An Nisa’: 141).
Pun demikian, kekafiran pemerintah bukanlah alasan satu-satunya untuk boleh memberontak, namun harus ada syarat-syarat lain yg dipenuhi, yaitu:
  1. Adanya kekuatan yg memadai untuk menggulingkan si penguasa tsb.
  2. Pemberontakan tsb tidak boleh mendatangkan kerusakan yg lebih besar dengan banyaknya korban jiwa dan harta benda.

Jika kedua syarat ini terpenuhi, dan si penguasa tsb memang kafir, barulah kaum muslimin wajib memberontak kepadanya. namun bila tidak, maka haram bagi mereka memberontak (angkat senjata) kepadanya, seperti yang banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok yg mengatasnamakan jihad hari ini (Al Qaeda dkk).
Jadi, ketaatan kpd ulil amri adalah berlaku umum selama merekalah yg menguasai kita dan mereka adalah muslim. Bila mereka tidak menerapkan hukum Allah, maka itu menjadi dosa mereka, bukan dosa kita… apalagi jika mengingat adanya khilaf di kalangan para ulama tentang status orang yg tidak berhukum dengan hukum Allah (baik penguasa maupun rakyat, dan baik itu hukum hadd maupun aturan syari’at lainnya). Banyak orang yg keliru memahami ayat di atas, lalu menyimpulkan bahwa “Tidak berhukumnya seorang penguasa dengan hukum Allah” = “tidak ada penguasa”. Ini jelas tidak benar, dan bisa menimbulkan tindak anarkis dan kerusakan yg merugikan Islam dan kaum muslimin… Contohnya adalah mereka yg menganggap kafir pemerintah setempat, lalu bertingkah laku seperti pemerintah dengan menerapkan hukum hadd (cambuk, rajam, potong tangan, dsb) terhadap warga yg mereka nilai berdosa… atau mewajibkan kalangan ahli kitab untuk membayar jizyah (upeti)… atau menyatakan perang dengan pihak kafir, dsb… persis spt yg dilakukan AL QAEDA dan orang-orang yg sepemikiran dengannya. Hasilnya: “Kerusakan bin kerusakan, dan kerugian binti kerugian atas Islam dan kaum muslimin”. wallaahul musta’aan.

pertanyaan: 
Bagaimana dgn pernyata’an orang yg bilang..
bahwa setiap orang yang mengaku muslim itu harus memperjuangkan tegaknya syariat islam???
Terus bisakah berhala pada masa jahiliah dulu yang Rosul menyuruh untuk menghancurkanya di kiaskan dgn undang-undang sekarang yang tidak berlandaskan alquran dan assunnah yang dalam artian harus dihancurkan juga??? jazakallah ust.
jawaban:
Iya, dia harus berjuang untuk itu, dan yang namanya syari’at Islam itu jangan sekedar difahami sbg hukum rajam, cambuk, potong tangan, qishash dan semisalnya saja. Tapi syari’at Islam yg menyeluruh, mulai dari akidah (tauhid), ibadah, hingga mu’amalah. Masing-masing berjuang pada lininya dan sesuai kemampuannya, dan tentunya setelah berhasil mewujudkan dasar dari itu semua, yaitu tauhid. Adapun bila tauhid diabaikan, maka percuma saja… makanya saat ditawari untuk menjadi raja Mekkah, atau menjadi orang terkaya, Rasulullah menolak dengan tegas karena imbalannya beliau harus menghentikan dakwah tauhid. 
Intinya, percuma saja menjadi pemimpin kalau yg dipimpin tidak mau diatur pakai aturan Islam (musyrikin mekkah). Percuma saja undang-undang dihancurkan kalau rakyatnya sendiri masih anti dengan syari’at Islam… jadi, dakwah ini harus dimulai dari akarnya… fahamkan rakyat (kaum muslimin) tentang ajaran Islam, tanamkan rasa cinta terhadap Islam dan syariatnya pada hati mereka, barulah setelah itu kita berusaha merubah UUD kita, dan ketika itulah perubahan UUD akan membawa dampak besar… tapi kalau sekarang kita sudah tergesa-gesa untuk menghancurkan UUD, padahal aparat negara, dan semua institusinya masih loyal kepada UUD, lantas apa manfaatnya?
Rasulullah sendiri membiarkan berhala-berhala tersebut selama 20 tahun karena beliau belum memiliki kekuatan untuk menghancurkannya, dan lagi pula kalau tetap dihancurkan, maka selama pemikiran syirik masih mendominasi otak warga mekkah, mereka akan membikin berhala baru lagi… bukankah begitu? Demikian pula di Indo(nesia)… selama mayoritas umat Islam masih alergi dan awam terhadap Islam, maka mereka akan selalu menjauhi syariat. Kalaupun sekarang UUD dihancurkan, maka pemerintah (yg notabene adalah cerminan rakyat juga) akan membuat UUD baru yg tak berbeda dengan pendahulunya…Faham akhi?
(washallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa ash-habihi ajma'in, walhamduliLlahi Rabbil 'alamin)
disalin dari jawaban atas pertanyaan kepada Ust. Abu Hudzaifah Al Atsary pada artikel ciri-ciri ahlul haq pengikut kebenaran 

Komentar

  1. Di era modern ini, suatu sistem pemerintahan akan berjalan jika didukung rakyat. Pemaksaan sistem negara dari kelompok elit tidak akan bertahan lama jika tidak didukung rakyat. Kalau memang khilafah merupakan sistem yg baik, para pendukungnya harus menjelaskan secara detil bagaimana pelaksanaannya kelak, bukan cuma jargon2 indah tanpa detil atau nostalgia masa lalu. Bila unggul, pasti rakyat mendukung. Untuk melihat khilafah dalam sejarah, bisa berkunjung ke tulisan berikut: Khilafah, Negara Islam Dalam Sejarah (mohon maaf link tidak di sertakan_im)

    BalasHapus
  2. bukan cuma di era modern (sekarang) dari jaman dulu sperti itu.
    suatu sistem pemerintahan akan berjalan jika didukung rakyat. Pemaksaan sistem negara dari kelompok elit tidak akan bertahan lama jika tidak didukung rakyat.

    makanya penekanannya adalah perbaikan dari masing2 tiap muslim dengan mengenali tauhid, memahami dan menjalankan seluruh konsekuensinya.
    khilafah (kepemimpinan) memang penting. tapi yang paling utama adalah tauhid seorang hamba (karena dikuburan seseorang yg tlah mati akan ditanya tntang hal ini bukan khilafah)

    dan kepemimpinan adalah cerminan dari rakyatnya. jika mayoritas rakyatnya baik (dari segi tauhid, moralitas, keinginan dsb) maka insya Allah mereka akan mndapatkan pemimpin yg baik pula. (bukan soal sistem pemerintahan sperti apa yg akan dipakai, apakah monarki atau parlementer atau lainnya..)

    kita lihat indonesia, dimana mayoritas masyarakatnya tdk paham akan inti dari agamanya sendiri, perdukunan merajalela, ketidak jujuran dimana2, pemborosan dan sikap hidup foya2. lalu bandingkan dengan keadaan para pemimpinnya di parlemen ataupun pemerintahan bukankah sangat mirip..?

    wallahu a'lam

    BalasHapus

Posting Komentar