Mengenal Thibbun Nabawi (Pengobatan Cara Nabi_shalallohu 'alayhi wasallam)

Dunia pengobatan semenjak dulu selalu berjalan seiring dengan kehidupan manusia. Karena, sebagai makhluk hidup, manusia amatlah akrab dengan berbagai macam penyakit ringan maupun berat. Keinginan untuk berlepas diri dari berbagai penyakit itulah yang mendorong manusia berupaya menyingkap berbagai metode pengobatan, mulai dari mengkonsumsi berbagai jenis tumbuhan secara tunggal maupun yang sudah terkontaminasi, yang diyakini berkhasiat menyembuhkan penyakit tertentu, atau sistem pemijatan, akupuntur, pembekaman hingga operasi dan pembedahan.

Namun seiring dengan perkembangan peradaban manusia, budaya konsumerisme dan materialisme menggiring manusia mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang dianggap praktis, lezat dan penuh variasi. Sayangnya kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa produksi makanan semacam itu seringkali terpaksa menggunakan berbagai jenis bahan kimia berbahaya, seperti borax, formalin, Rhodamin B dan Metanil Yellow (bahan pewarna sintetis), antibiotik kloramfenikol, dietilpirokarbonat, dulsin, nitrofurazon dan berbagai bahan kimia yang amat merusak kesehatan.
Orang yang sudah banyak mengkonsumsi berbagai jenis makanan berkomposisi kimia menjadi sering terserang penyakit komplikasi yang beragam. Sehingga obat-obatan yang diperlukan juga obat-obatan berkomposisi kimia berat.

Bukan rahasia lagi, pengobatan dengan bahan kimia sintetis (pengobatan barat/modern)
mungkin dapat mengobati suatu penyakit, tetapi dapat juga menimbulkan penyakit bawaan yang lain sebagai bentuk efek samping buruk dari sifat bahan kimia. Satu penyakit dapat disembuhkan tetapi dapat muncul penyakit lain. Jadilah lingkaran setan yang tidak ada habisnya dalam dunia pengobatan modern. Ternyata mahalnya obat kimia sintetis bukan jaminan kesembuhan.

Teknologi medis boleh saja merambati modernisasi dan shopisticasi yang sulit diukur. Namun perkembangan jenis penyakit juga tidak kalah cepat beregenerasi. Sementara banyak manusia yang tidak menyadari bahwa Allah subhanahu wata'ala tidak pernah menciptakan manusia dengan ditinggalkan begitu saja. Setiap kali penyakit muncul, pasti Allah subhanahu wata'ala juga menciptakan obatnya.

Sabda Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam: “Tidaklah Allah subhanahu wata'ala menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia turunkan penyembuhnya.” (HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah) Hanya saja ada manusia yang mengetahuinya dan ada yang tidak mengetahuinya. 
Kenyataan lain yang harus disadari oleh manusia, bahwa apabila Allah subhanahu wata'ala secara tegas memberikan petunjuk pengobatan, maka petunjuk pengobatan itu sudah pasti lebih bersifat pasti dan bernilai absolut. Dan memang demikianlah kenyataannya. Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam, bukan saja memberi petunjuk tentang perikehidupan dan tata cara ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala secara khusus yang akan membawa keselamatan dunia dan akhirat, tetapi juga memberikan banyak petunjuk praktis dan formula umum yang dapat digunakan untuk menjaga keselamatan lahir dan batin, termasuk yang berkaitan dengan terapi atau pengobatan.

Petunjuk praktis dan kaidah medis tersebut banyak sekali didemonstrasikan oleh Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam dan diajarkan kepada para sahabatnya. Bila kesemua formula dan kaidah praktis itu dipelajari secara seksama, tidak syak lagi bahwa kaum Muslimin dapat mengembangkannya menjadi sebuah sistem dan metode pengobatan yang tidak ada duanya.
Disitulah akan terlihat korelasi yang erat antara sistem pengobatan Ilahi dengan sistem pengobatan manusia.

Karena Allah subhanahu wata'ala telah menegaskan: "Telah diciptakan bagi kalian semua segala apa yang ada di muka bumi ini." Ilmu pengobatan berikut segala media dan materinya, termasuk yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata'ala untuk kepentingan umat manusia.

Camakanlah! Islam adalah agama yang sempurna, yang dibawa Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam bukan hanya kepada orang sehat tapi juga kepada orang yang sakit, maka syariatnya juga disediakan.
Untuk itu seyogyanya kaum Muslimin menghidupkan kembali kepercayaan terhadap berbagai jenis obat dan metode pengobatan yang diajarkan Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam sebagai metode terbaik untuk mengatasi berbagai macam penyakit.Namun tentu semua jenis pengobatan dan obat-obatan tersebut hanya terasa khasiatnya bila disertai dengan sugesti dan keyakinan. Karena-demikian dinyatakan Ibnul Qayyim-keyakinan adalah doa. Bila pengobatan manusia (modern) mengenal istilah placebo (semacam penanaman sugesti lalu memberikan obat netral ( biasanya berbentuk vitamin-im ) yang sebenarnya bukan obat dari penyakit yang dideritanya), maka Islam mengenal istilah doa dan keyakinan.

Dengan pengobatan yang tepat, dosis yang sesuai disertai doa dan keyakinan, tidak ada penyakit yang tidak bisa diobati, kecuali penyakit yang membawa kematian.

Jabir rodhiallohu 'anhu membawakan hadits dari Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam: “Setiap penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh dengan izin Allah subhanahu wata'ala.” (HR. Muslim)

Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah subhanahu wata'ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata: 
“Sungguh para tabib telah sepakat bahwa ketika memungkinkan pengobatan dengan bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan kimiawi. Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan: ‘Setiap penyakit yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pencegahan, janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan kimiawi’.”

Ibnul Qayyim juga berkata: “Berpalingnya manusia dari cara pengobatan nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat.”

Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena kepastiannya datang dari Allah subhanahu wata'ala lewat lisan Rasul-Nya shalallohu 'alayhi wasallam. Sementara pengobatan dengan obat-obatan kimiawi (pengobatan cara barat) kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan dengan thibbun nabawi (pengobatan cara nabi -im).

Pengobatan yang diajarkan Nabi shalallohu 'alayhi wasallam diyakini kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari selain Nabi shalallohu 'alayhi wasallam kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman / uji coba.

Ibnul Qayyim berkata: 
“Pengobatan ala-Nabi tidak seperti layaknya pengobatan para ahli medis. Pengobatan ala-Nabi dapat diyakini dan bersifat pasti (qath’i), bernuansi ilahy, berasal dari wahyu dan misykat nubuwah serta kesempurnaan akal."

Namun tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba tidak boleh bersandar semata dengan pengobatan tertentu, dan tidak boleh meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan sakitnya. Seharusnya ia bersandar dan bergantung kepada Dzat yang memberikan penyakit dan menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah subhanahu wata'ala.  Seorang hamba hendaknya selalu bersandar kepada-Nya dalam segala keadaannya. Hendaknya ia selalu berdoa memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala  kemudharatan yang tengah menimpanya.

***

Pengobatan Nabawiyyah (At-Thibbun Nabawi) Bukan Pengobatan Alternatif. Keberadaan berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata'ala. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian yang ditetapkan Allah atas hamba-hamba-Nya. Dan sesungguhnya pada musibah itu terdapat kemanfaatan bagi kaum mukminin.

Shuhaib Ar-Rumi rodhiallohu 'anhu berkata: 
“Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam bersabda: “Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya.” (HR.Muslim no. 2999)

Termasuk keutamaan Allah subhanahu wata'ala yang diberikan kepada kaum mukminin, Dia menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai penghapus dosa dan kesalahan mereka.

Sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas‘ud rodhiallohu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau lainnya, melainkan Allah subhanahu wata'ala menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511)

Di sisi lain, sebagaimana Allah subhanahu wata'ala menurunkan penyakit, Dia pun menurunkan obat
bersama penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya, baik yang mukmin maupun yang kafir.

Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah rodhiallohu 'anhu: “Tidaklah Allah subhanahu wata'ala menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5678)

Abdullah bin Mas’ud rodhiallohu 'anhu mengabarkan dari Nabi shalallohu 'alayhi wasallam: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya bersamanya. (Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya dan mengetahui orang yang mengetahuinya.” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 451)

BEBERAPA CARA TEKNIS PENGOBATAN NABAWI

Banyak sekali cara pengobatan nabawi (diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam "Ath Thib An-Nabawi" -im). Kami hanya menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu:

1. Pengobatan dengan madu

Allah subhanahu wata'ala berfirman tentang madu yang keluar dari perut lebah:

“… Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (An-Nahl: 69).

Madu dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit dengan izin Allah subhanahu wata'ala. Di
antaranya untuk mengobati sakit perut, seperti ditunjukkan dalam hadits berikut ini:

“Ada seseorang menghadap Nabi shalallohu 'alayhi wasallam, ia berkata: ‘Saudaraku mengeluhkan sakit pada perutnya.’
Nabi bersabda: ‘Minumkan ia madu.’
Kemudian orang itu datang untuk kedua kalinya,
Nabi bersabda: ‘Minumkan ia madu.’
Orang itu datang lagi pada kali yang ketiga,
Nabi tetap bersabda: ‘Minumkan ia madu.’
Setelah itu, orang itu datang lagi dan menyatakan: ‘Aku telah melakukannya (namun belum sembuh juga malah bertambah mencret).’
Nabi bersabda: ‘Allah Mahabenar dan perut saudaramu itu dusta. Minumkan lagi madu.’ Orang itu meminumkannya lagi, maka saudaranya pun sembuh.” (HR. Al-Bukhari no. 5684 dan Muslim no. 5731)

2. Pengobatan dengan habbah sauda` _habbatussauda_ (jintan hitam, Nigella sativa)

Nabi shalallohu 'alayhi wasallam bersabda: “Sesungguhnya habbah sauda` ini merupakan obat dari semua penyakit, kecuali dari penyakit assaamu”.
Aku (yakni`Aisyah radhiallahu 'anha) bertanya: “Apakah as-samu itu?”
Beliau menjawab: “Kematian.”
(HR. Al-Bukhari no. 5687 dan Muslim no. 5727)

3. Pengobatan dengan susu dan kencing unta

Anas rodhiallohu 'anhu menceritakan: 
“Ada sekelompok orang ‘Urainah dari penduduk Hijaz menderita sakit (karena kelaparan atau keletihan). Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, berilah tempat kepada kami dan berilah kami makan.’ 
Ketika telah sehat, mereka berkata: ‘Sesungguhnya udara kota Madinah tidak cocok bagi kami (hingga kami menderita sakit, –pent.).’ Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam pun menempatkan mereka di Harrah, di dekat tempat pemeliharaan unta-unta beliau (yang berjumlah 3-30 ekor).
Beliau bersabda: ‘Minumlah dari susu dan kencing unta-unta itu. 
Tatkala mereka telah sehat, mereka justru membunuh penggembala unta-unta Nabi shalallohu 'alayhi wasallam (setelah sebelumnya mereka mencungkil matanya) dan menggiring unta-unta tersebut (dalam keadaan mereka juga murtad dari Islam, -pent.).
Nabi shalallohu 'alayhi wasallam pun mengirim utusan untuk mengejar mereka, hingga mereka tertangkap dan diberi hukuman dengan dipotong tangan dan kaki-kaki mereka serta dicungkil mata mereka.”
(HR. Al-Bukhari no. 5685, 5686 dan Muslim no. 4329)

4. Pengobatan dengan berbekam (hijamah)

Ibnu ‘Abbas RA mengabarkan:
“Sesungguhnya Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam berbekam pada bagian kepalanya dalam keadaan beliau sebagai muhrim (orang yang berihram) karena sakit pada sebagian kepalanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5701)

Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam juga bersabda: “Obat/kesembuhan itu (antara lain) dalam tiga (cara
pengobatan): minum madu, berbekam dan dengan kay, namun aku melarang umatku dari kay.” (HR. Al-Bukhari no. 5680)

5. Ruqyah

Di antara cara pengobatan nabawi yang bermanfaat dengan izin Allah subhanahu wata'ala adalah ruqyah yang syar’i, yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih.

Ketahuilah, Allah subhanahu wata'ala menjadikan Al-Qur`anul Karim sebagai syifa` (obat/ penyembuh) sebagaimana firman-Nya:

“Dan jikalau Kami jadikan Al-Qur`an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: ‘Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?’ Apakah (patut Al-Qur`an) dalam bahasa asing, sedangkan (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang yang beriman’.” (Fushshilat: 44)

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an apa yang merupakan syifa` dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82).

Huruf (mim, nun = min / dari) dalam ayat di atas untuk menerangkan jenis, bukan menunjukkan tab‘idh (makna sebagian). Karena Al-Qur`an seluruhnya adalah syifa` dan rahmat bagi orang-orang beriman, sebagaimana dinyatakan dalam ayat sebelumnya (yaitu surat Al-Fushshilat: 44).” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 7)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata ketika memberikan komentar terhadap hadits yang menyebutkan tentang wanita yang menderita ayan (epilepsi): “Dalam hadits ini ada dalil bahwa pengobatan seluruh penyakit dengan doa dan bersandar kepada Allah SWT adalah lebih manjur serta lebih bermanfaat daripada dengan obat-obatan. Pengaruh dan khasiatnya bagi tubuh pun lebih besar daripada pengaruh obat-obatan jasmani. Namun kemanjurannya hanyalah didapatkan dengan dua perkara: 1) dari sisi orang yang menderita sakit, yaitu lurus niat / tujuannya, 2) dari sisi orang yang mengobati, yaitu kekuatan bimbingan/arahan dan kekuatan hatinya dengan takwa dan tawakkal. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari 10/115)

Dalam hadits Abu Sa‘id Al-Khudri RA tentang ruqyah dengan surat Al-Fatihah yang dilakukan salah seorang shahabat, benar-benar terlihat pengaruh obat tersebut pada penyakit yang diderita sang pemimpin kampung. Sehingga obat itu mampu menghilangkan penyakit, seakan-akan penyakit tersebut tidak pernah ada sebelumnya. Cara seperti ini merupakan pengobatan yang paling mudah dan ringan. Seandainya seorang hamba melakukan pengobatan ruqyah dengan membaca Al-Fatihah secara bagus, niscaya ia akan melihat pengaruh yang mengagumkan dalam kesembuhan
.
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu berkata: “Aku pernah tinggal di Makkah selama beberapa waktu dalam keadaan tertimpa berbagai penyakit. Dan aku tidak menemukan tabib maupun obat. Aku pun mengobati diriku sendiri dengan Al-Fatihah yang dibaca berulang-ulang pada segelas air Zam-zam kemudian meminumnya, hingga aku melihat dalam pengobatan itu ada pengaruh yang mengagumkan. Lalu aku menceritakan hal itu kepada orang yang mengeluh sakit. Mereka pun melakukan pengobatan dengan Al-Fatihah, ternyata kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.”

Subhanallah!
Demikian penjelasan dan persaksian Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu terhadap ruqyah serta pengalaman pribadinya berobat dengan membaca Al-Fatihah. (Ad-Da`u wad Dawa` hal. 8, Ath-Thibbun Nabawi hal. 139)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: 
“Sungguh Allah SWT telah menjadikan Al-Qur`an sebagai syifa` bagi penyakit-penyakit hissi (yang dapat dirasakan indera) dan maknawi berupa penyakit-penyakit hati dan badan. Namun dengan syarat, peruqyah dan yang diruqyah harus mengikhlaskan niat. Dan masing-masing meyakini bahwa kesembuhan itu datang dari sisi Allah SWT. Dan ruqyah dengan Kalamullah merupakan salah satu di antara sebab-sebab yang bermanfaat.”

Beliau juga berkata: “Pengobatan dengan ruqyah Al-Qur`an merupakan Sunnah Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam dan amalan salaf. Mereka dahulu mengobati orang yang terkena ‘ain, kesurupan jin, sihir dan seluruh penyakit dengan ruqyah. Mereka meyakini bahwa ruqyah termasuk sarana yang mubah lagi bermanfaat, sementara yang menyembuhkan hanyalah Allah subhanahu wata'ala.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy- Syaikh Shalih Al-Fauzan, juz 1, jawaban soal no. 77)

Thibbun Nabawi Memberi Pengaruh bagi Kesembuhan dengan Izin Allah subhanahu wata'ala. 
Mungkin ada di antara kita yang pernah mencoba melakukan pengobatan dengan thibbun nabawi dengan minum madu misalnya, atau habbah sauda`. Atau dengan ruqyah membaca ayat-ayat Al-Qur`an dan doa-doa yang diajarkan Rasulullah shalallohu 'alayhi wasallam, namun tidak merasakan pengaruh apa-apa. Penyakitnya tak kunjung hilang. Ujung-ujungnya, kita meninggalkan thibbun nabawi karena kurang percaya akan khasiatnya, lalu beralih ke obat-obatan kimiawi. Mengapa demikian? Mengapa kita tidak mendapatkan khasiat sebagaimana yang didapatkan Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu ketika meruqyah dirinya dengan Al-Fatihah? Atau seperti yang dilakukan oleh seorang shahabat ketika meruqyah kepala suku yang tersengat binatang berbisa di mana usai pengobatan si kepala suku (pemimpin kampung) sembuh seakan-akan tidak pernah merasakan sakit?
Di antara jawabannya, sebagaimana ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu yang telah lewat, bahwasanya manjurnya ruqyah (pengobatan dengan membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur`an) hanyalah diperoleh bila terpenuhi dua hal di atas (dari sisi orang yang menderita sakit, yaitu lurus niat / tujuannya, dan dari sisi orang yang mengobati, yaitu kekuatan bimbingan/arahan dan kekuatan hatinya dengan takwa dan tawakkal).

Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullahu berkata: “Ada hal yang semestinya dipahami, yakni zikir, ayat, dan doa-doa yang dibacakan sebagai obat dan yang dibaca ketika meruqyah, memang merupakan obat yang bermanfaat. Namun dibutuhkan respon pada tempat, kuatnya semangat dan pengaruh orang yang meruqyah. Bila obat itu tidak memberi pengaruh, hal itu dikarenakan lemahnya pengaruh peruqyah, tidak adanya respon pada tempat terhadap orang yang diruqyah, atau adanya penghalang yang kuat yang mencegah khasiat obat tersebut, sebagaimana hal itu terdapat pada obat dan penyakit hissi.
Tidak adanya pengaruh obat itu bisa jadi karena tidak adanya penerimaan thabi’ah terhadap obat tersebut. Terkadang pula karena adanya penghalang yang kuat yang mencegah bekerjanya obat tersebut. Karena bila thabi’ah mengambil obat dengan penerimaan yang sempurna, niscaya manfaat yang diperoleh tubuh dari obat itu sesuai dengan penerimaan tersebut.

Demikian pula hati. Bila hati mengambil ruqyah dan doa-doa perlindungan dengan penerimaan yang sempurna, bersamaan dengan orang yang meruqyah memiliki semangat yang berpengaruh, niscaya ruqyah tersebut lebih berpengaruh dalam menghilangkan penyakit.” (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 8)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyatakan, terkadang sebagian orang yang menggunakan thibbun nabawi tidak mendapatkan kesembuhan. Yang demikian itu karena adanya penghalang pada diri orang yang menggunakan pengobatan tersebut. Penghalang itu berupa lemahnya keyakinan akan kesembuhan yang diperoleh dengan obat tersebut, dan lemahnya penerimaan terhadap obat tersebut.



RENUNGAN

Di tengah derasnya serbuan pengobatan modern dan pengobatan alternatif dari dalam atau luar negeri kedalam lingkungan kaum muslimin, tanpa jaminan kehalalan, memaksa kita menggunakan bahan dan cara yang haram, bahkan dapat membawa kita kepada perbuatan syirik, sangat mahal tapi tanpa jaminan kesembuhan secara sempurna, bahkan mungkin menimbulkan komplikasi yang lebih berat, maka kembali kepada thibbun nabawi adalah solusi yang tepat dan selamat. Keuntungan ganda akan kita peroleh, yaitu kesehatan tubuh dan terselamatkannya aqidah umat Islam.

wallohu ta'ala a'lam.

*****

diambil dari : e-book "Bekam - Pengobatan Menurut Sunnah Nabi" Materi Pelatihan Bekam Singkat 
penyusun : Drs. Kasmui, M.Si 

Komentar