Istilah Keliru yang Tidak Berdasar ( Menyingkap Mitos Wahhabi )

Apa itu Wahhabi?

Sungguh sayang, sebagian muslim bertanggung jawab dalam menyesatkan orang lain dengan memanggil seseorang yang bertentangan dengan budaya, keyakinan atau tahyul bid’ah dan praktek beragama setempat sebagai “Wahhabi”. Istilah “Wahhabi” seolah mengambil makna yang berbeda di waktu dan tempat yang berbeda.

Sebutan ini berdasarkan presepsi bahwa seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab datang dengan agama yang baru yang bertentangan dengan ajaran normatif
Islam. Siapa gerangan beliau dan apa sesungguhnya yang ditulisnya?

Lahir di kota Uyainah pada tahun 1703 (1206H5) Muhammad bin Abdul Wahhab merasa terganggu dengan praktek beragama manusia yang mengandung kesyirikan, tahayul dan
pengkultusan para wali dan kuburan, semuanya yang jelas bertentangan dengan nash-nash Islam.

Ketika menulis kitabnya, beliau berkonsentrasi pada (upaya) membawa manusia kembali kepada Tauhid6 yang benar dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad shalallohu 'alayhi wasallam.7  Ketika beliau memperbaharui risalah Nabi, beliau menghadapi rintangan dan kesulitan dan ditentang dengan keras karena mengemukakan dakwah ini.

Pada hari ini, di banyak tempat dari dunia muslim, beliau dipandang sebagai seseorang yang sesat yang hendak mengubah agama Islam. Ini adalah kebohongan yang tidak berdasar, sebagaimana setiap pengamat yang obyektif akan mencatat bahwa sebagian besar buku-bukunya tidak mengandung sesuatu melainkan kumpulan dari nash-nash Al- Qur’an dan Sunnah dengan sedikit sekali perkataannya sendiri di antaranya. Kenyataanya orang-orang ini, yang nenek moyangnya, sepanjang waktu berlalu, telah merubah agama dari bentuk aslinya yang murni, dan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) tidak lain melainkan seorang pembaharu yang memurnikan agama dari unsur-unsur yang tidak sah.

Rasul Allah shalallohu 'alayhi wasallam8 bersabda: 
“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya dari setiap generasi, mereka akan mengeluarkan darinya perubahan-perubahan yang dibuat oleh orang yang berlebih-lebihan, kedustaan para pendusta, dan penafsiran keliru dari orang-orang bodoh.”9

Posisi Salafi terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau adalah seorang alim ulama besar, sebagaimana ribuan ulama yang telah mendahuluinya di atas kebaikan ini. Aqidahnya sama dengan mereka, dan dia hanya menjadi terkenal karena pembelaannya terhadap aqidah ini, karena beliau datang pada waktu dimana praktek-prakek sesat begitu menyebar sehingga praktis beliau sendirian dalam pembelaannya terhadap kebenaran. Namun demikian, keimanan, perbuatan dan perkataannya dapat diteliti sebagaimana ribuan ulama Islam lainnya yang telah mendahului beliau, dan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim bersikap berat sebelah pada seorang ulama tertentu yang meyebabkan dia menolak kebenaran yang di dalamnya terkadung Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shalallohu 'alayhi wasallam.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah10 kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujarat [49] : 1)

***

Foot note :


5. Penanggalan Islam dimulai sejak hijrahnya Nabi shalallohu 'alayhi wasallam dari Makkah ke Madinah, yakni sama dengan tahun 622 M.

6. Beriman bahwa Allah adalah Esa, dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam segala bentuk ibadah.

7. As-Sunnah terdiri dari perkataan, perbuatan dan takrir (persetujuan) Nabi shalallohu 'alayhi wasallam. Nabi shalallohu 'alayhi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR Bukhari, 5063)

8. Sejak 11 September, banyak orang mendengarkan nama Allah untuk pertama kalinya. Orang-orang Eropa bisa mendengar kata ‘God” (Tuhan) dalam bahasa Inggris, Got di Afrika, Gott di Jerman dan Gudd dalam bahasa Skandinavia. Kata Allah seolah merupakan sesuatu yang asing bagi mereka, oleh karena itu, mereka biasa menepis seluruh konsep ketuhanan Islam sebagai Tuhan yang asing dari agama yang asing.
Bahkan pegawai pemerintah yang terlibat dalam bidang pendidikan seolah tidak mengetahui realitas nama Allah. Sebagai contoh, pada tanggal 2 November 1997, CAIR melaporkan bahwa Dr. Henry Jordan, petugas South Carolina Board of Edcation mengatakan bahwa Islam adalah ‘pemujaan’ yang menyembah ‘Lucifer’ dan karenanya dia menukil sebuah perkataan: “Bunuhlah orang-orang Muslim.” Setelah memohon maaf atas ucapannya, dia mengatakan yang berikut dalam sebuah surat kepada Muslim di South Carolina,
tanggal 2 September 1997: “Jika anda tidak cukup pintar untuk membaca melalui berita dan melihat apa yang sesungguhnya berlangsung dalam pemberitaan itu, maka tidak heran jika anda beranggapan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan amalan yang baik dan beriman kepada Allah. Saya menasihatkan anda..bertanyalah kepada Tuhan Injil, Jehovah(, bukan Allah, dan Tuhan, dan Anak, Isa, untuk menyingkapkan tirai dari mata dan hati anda dan menampakkan kebenaran kepadamu sebelum terlambat.”
Dr. Hendy Jordan akan melakukannya dengan baik dengan mengetahui bahwa ‘Tuhan dalam Injil’ sesungguhnya adalah Allah dan bahwa kata ‘God’ dan Jehovah tidak ditemukan di mana pun dalam nash aslinya (Jehovah adalah versi perubahan dari empat huruf Y.H.W.H yang ditemukan dalam kitab Perjanjian Lama. Huruf-huruf ini tidak ditemukan di mana pun dalam Perjanjian Baru).
Nama Tuhan yang sebenarnya dapat ditemukan dalam nash berbahasa Semitic, seperti Ibrani dan Arab. Dalam bahasa Ibrani, Tuhan seringkali ditransliterasikan dengan El, Elah, Eloh atau Eloah. Ketika digunakan dalam bentuk jamak untuk menunjukkan kemuliaan, seperti ‘Kami’ dan bukannya ‘Aku’ , maka ditulis Elohim. Tuhan dalam Bahasa Arab ditransliterasikan dengan Ilah. Dalam catatan kakinya untuk surat Genesis 1-1 untuk edisi terbaru dan perbaikan dari the English Bible, Rev, C.I. Scotfield D.D memilih transliterasi Eloh menjadi Alah. Setelah diterjemahkan dari Bahasa Yunanai ke Inggris, kitab Perjanjian Baru masih mengandung unsur dari akar Semitik. Mathew 27:46 menyebut Tuhan sebagai Eli, dan riwayat kembarnya, Mark 15:34 menyebut Tuhan sebagai Eloi. Kaum Muslim meyakini bahwa kata Allah adalah nama Tuhan yang sebenarnya yang berarti “(Satu-satunya) Tuhan (yang berhak disembah)” dalam bentuk ma’rifah (definite). Secara linguistik, kata tersebut tidak dapat dimodifikaasi dengan cara yang sama seperti
gods (tuhan-tuhan), godess (tuhan-tuhan wanita / dewi-dewi), atau tin god (seringkali adalah orang yang angkuh dan dictator yang meminta dan menerima penghormatan lebih dari yang pantas diterimanya),

9. Disahihkan oleh Syaikh Albani dalam al-Misykat (no. 248)

10. Kata yang digunakan disini adalah taqwa. Konsep taqwa dalam islam berakar dalam keseimbangan antara mencintai Allah, yang memberikan harapan kepada orang-orang beriman akan rahmat Allah yang maha luas, dan takut kepada-Nya, yang menahan orang-orang mukmin (agar tidak) jatuh ke dalam dosa dan pelanggaran. Taqwa melindungi orang-orang Mukmin dari murka Allah. 
Allah Ta’ala berfiman:
“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah.” (QS Adz- Dzariyat [51] : 50)
Allah memerintahkan orang-orang Mukimin untuk kembali dari segala sesuatu yang dibenci Allah, yang tersembunyi dan yang tampak kepada apa-apa yang Allah cintai. Dia juga memerintahkan kita untuk kembali dari kelalaian akan tujuan keberadaaan kita, kepada akal sehat mengenai diri kita, Rabb kita, agama-Nya yang telah dipilihkan-Nya untuk kita, dan urusan dunia kita. Kita harus kembali dari kekufuran kepada iman, dari kealpaan kepada mengingat kebesaran Sang Pencipta.
Biasanya, seseorang berlari dari sesuatu yang sangat menakutkannya. Ini adalah bentuk negatif dari ketakutan yang membawa kepada kehancuran. Bertentangan dengan hal itu, ketakutan yang dimiliki orang-orang Mukmin kepada Allah membuatnya melarikan diri dari semua kesia-siaan dan hal-hal yang tidak berguna (menuju) kepada-Nya. Karenanya, kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah. Dalam Islam, takut kepada Allah membawa hamba lebih dekat kepada-Nya

11. Pada tanggal 15 Oktober, The National Review menyebarkan artikel yang ditulis oleh Stephan Schwartz yang mengatakan bahwa: “pernyataan (adanya) nilai-nilai moral antar aliran Wahabi dan al-Qaeda adalah bernilai sama seperti klaim adanya nilai-nilai moral antara partai Nazi dan SS, itu saja.” (Sephan Schwartz, Seeking Moderation, Giving Wahhabis too much credit, The National Review, October 25, 2001. 
Catatan: The National Review adalah penerbit yang sama, yang pada tanggal 3 Maret 2002, menyarankan kemungkinan penyerangan Makkah, kota suci Islam, dengan senjata nuklir.

12 Justin Raimondo, The War Against Saudi: What’s behind the Washington’s split with Riyadh? Behind the Headlines, January 23,2002. 

diambil dari e-book : "Menyingkap Mitos Wahhabi" Alih Bahasa oleh : Ummu Abdillah al-Buthoniyah
judul asli : "The Wahhabi Myth" Penulis : Haneef James Oliver


untuk download e-booknya klik image ini : [wahhabi_myth2.jpg]

Komentar